Pulau
Eno Kini Semakin Kritis
Siapa yang tidak kenal dengan
pulau Eno, pulau yang berada di bagian selatan Kepulauan Aru dan termasuk dalam
salah satu pulau terluar yang berbatasan dengan dua negara Timor Leste dan
Australia ini, selain termasuk pulau terluar, pemerintah Pusat juga menetapkan
pulau Eno sebagai wilayah konservasi, karena merupakan habitat tempat
bertelurnya penyu hijau. Kini kondisinya semakin kritis dangan ancaman
kerusakan ekosistem pulau yang semakin memburuk, berdasarkan hasil pemantauan Aru Islands News bersama ekspedisi #SaveAru di pulau Eno
(13/10), kondisinya sangat memprihatinkan dengan garis pantai yang semakin
menyempit akibat abrasi dan kenaikan permukaan air laut, mengakibatkan sebagian
besar pohon yang tumbuh di sepanjang pesisir pantai roboh dan menutupi
permukaan pasir tempat bertelurnya penyu hijau, selain itu akibat dari
aktivitas ratusan kapal jaring trol yang selalu beroperasi dilaut Aru,dengan
melakukan pengerukan mulai dari dasar laut, mengakibatkan banyaknya karang mati
yang kemudian terbawa arus dan gelombang akhirnya menutupi pantai dan semakin
lama menumpuk sama seperti timbunan panjang dengan ketinggian lebih dari 1
meter disepanjang pesisir pantai pulau
Eno, dan kini puluhan ton sampah plastik juga turut menutupi permukaan pantai
yang dulunya terkenal sangat indah.
Pulau Eno yang dulu sama terkenalnya dengan Bali, karena
indahnya panorama disepanjang bibir pantai, ditambah pulau Eno juga merupakan
habibat penting bagi tempat bertelur penyu hijau dan menjadi injaran kunjungan
turis manca negara ketika berkunjung ke Indonesia, sekarang hanya meninggalkan
cerita dari masa kejayaannya. Selain itu, pulau Eno juga menjadi salah satu
situs sejarah yang penting bagi masyarakat Aru dan dianggap sakral, kondisinya
kini semakin rusak dan dikotori sampah disepanjang garis pantai, tidak ada
sedikitpun kesan tempat ini merupakan tempat yang suci dari bukti sejarah
perjalanan peradaban sejarah orang Aru.
Layaknya beberapa wilayah
konservasi di Indonesia yang terus dijaga dan dikontrol terus kelestaraian
ekosistemnya, miris memang dengan apa yang terjadi sekarang di Pulau Eno,
karena sama sekali tidak ada penjagaan dan perhatian dari pemerintah pusat dan
daerah, hal tersebut membuka peluang yang begitu besar bagi perburuan liar
penyu hijua yang dapat dilakukan kapan saja dan dengan bebasnya oleh nelayan
lokal maupun kapal-kapal nelayan dari luar, dengan menangkap penyu hijau hanya
untuk menjadikan daging penyu sebagai umpan pancing. Hal ini dapat dibuktikan
dengan ratusan tulang-tulang penyu yang telah mengering disepanjang pantai,
sementara itu dengan kondisi pasir yang telah ditimbuni oleh karang, membuat
penyu pun sulit untuk menemukan tempat bertelur, penyu hijau yang hendak bertelur
harus berkali-kali berusaha lebih keras berenang mengintari pulau hanya untuk menemukan
tempat yang layak untuk melepaskan dan menanam telurnya. Namun perjuangan keras
penyu hijau untuk mencari tempat bertelur harus dibayar dengan tragedi pahit
akibat perburuan penyu dan telurnya.
Sebagai situs sejarah dan daerah
konservasi, pulau Eno harus diselamatkan dari kehancuran ekosistem, butuh
perhatian semua pihak baik dari pemerintah dan masyarakat, untuk kembali menyadari
betapa pentingnya kelestarian pulau eno dalam kesatuan ekosistem, dan bukti
peradaban sejarah. Kalau dari sekarang tidak dilakukan upaya pelestarian dan
pencegahan kerusakan ekosistem, maka suatu saat pulau Eno hanya akan menjadi
cerita dan khayalan bagi generasi kedepan, semoga tidak terjadi.(@mk)
Komentar