Aru, Mutiara Yang Belum Juga Bersinar

 Oleh; Temmy Oersipuny
DARI sebuah kecamatan sangat tertinggal di Maluku Tenggara, Kepulauan Aru kini menjadi kabupaten otonom. Sudah enam tahun, wilayah itu mencoba beranjak dari kemiskinan dan keterisolasian. Namun obsesi kemakmuran masih jauh dari harapan. Aru masih tetap seumpama mutiara alam yang belum terasah. Ia belum juga bersinar.

Temmy Oersipuny
Datanglah ke Dobo, ibukota kabupaten Aru. Sebagian orang akan berdecak kagum karena di sana mulai terlihat deru pembangunan. Beberapa gedung milik pemerintah menyembul di antara rumah-rumah rendah. Jalan kota yang lebih baik dan beberapa jembatan baru. Banyak pegawai pemerintah berseragam terlihat di beberapa ruas jalan, meskipun jam kantor. Tapi setidaknya, dinamika ibukota kabupaten makin jelas. 
Tapi cobalah naik speedboat atau ketinting ke kecamatan-kecamatan atau kampung-kampung. Pergilah ke wilayah yang disebut Belakang Tanah. Potret Aru yang rural sekaligus natural terlihat pada selat-selat sempit, air payau dengan hutan bakau menjulang. Kampung-kampung di tepi pantai dengan rumah papan beratap rumbia. Manusia Aru yang sederhana, terbuka dan ramah akan menyambut di tepi pantai atau ujung kampung. Anak-anak kampung nelayan setengah telanjang dengan kulit terbakar sinar matahari.
Dengan sekali memadang busana yang dikenakan, rumah tinggal dan makanan yang dikonsumsi, para pendatang terutama dari kota, akan cepat tiba pada kesimpulan awal. Orang Aru yang kaya sumber daya alam hidup di bawah garis kemiskinan yang mengenaskan.

 “Aru sekarang tidak berbeda dengan Aru 20 tahun lalu. Paling kasihan. Sedikit perubahan hanya ada di Kota Dobo. Namun di kampung-kampung, semuanya masih seperti dulu, ketika kita masih kecil,” ujar Temmy Oersipuny, perempuan Aru yang duduk sebagai anggota DPRD Maluku.
 
Temmy mengakui, sejak mekar dari kabupaten induk, Aru telah mendapat sentuhan dari penjabat bupati Jopie Patty dan bupati definitif Theddy Tengko. Namun masa yang relatif singkat ini, belum membuat Aru beranjak dari ketertinggalan.
“Kita masih jauh dari cita-cita pemekaran. Kita masih seperti belum mekar saja,” ungkapnya di Ambon, pekan ini.
 
Temmy tidak ingin membuang salah kepada siapapun atas situasi Aru yang masih miskin ini. Sebab, sebagai sebuah kabupaten, Aru masih seumpama mutiara muda. Tapi dia optimis, jika Aru dikelola secara profesional dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, niscaya Aru akan menjadi mutiara yang gilang-gemilang di tengah Laut Arafuru yang kaya raya.
 
Optimisme ini bukan tidak beralasan. Temmy menyebutkan, Aru sangat kaya sumber daya. Orang Aru sejak turun-temurun mewarisi kekayaan alam darat laut dan udara. Flora dan fauna yang khas, pulau-pulau kecil nan eksotik, hasil bumi, pranata adat, kesenian dan kebudayaan yang juga unik, semuanya bisa menjadi modal untuk mencapai kemakmuran.
Namun diakuinya, orang Aru memiliki keterbatasan. Manusia Aru cukup tertinggal dalam hal teknologi, komunikasi dan informasi, sarana-prasana serta akses pasar. Jika semua ini dibangun, dia yakin Aru akan mengalami lompatan yang berarti ke arah kemajuan.
 
Dia mencontohkan, untuk komunikasi keluar Aru saja, orang Aru masih harus berjuang menempuh laut dan hutan untuk mencari signal handphone. Di beberapa tempat, beberapa warga yang mampu secara ekonomi, menggunakan jasa satelit. Warga dari kampung-kampung nan jauh, kerap mendayung mendekati area ini untuk bisa berkomunikasi dengan sanak keluarganya di tempat lain.
 
Jika di seluruh dunia sedang terjadi ledakan pengguna jasa internet dan telekomunikasi seluler, menurut Temmy, ketertinggalan di Aru masih bisa dijawab dengan memanfaatkan jasa radio SSB. Selain biayanya lebih murah, radio SSB masih cukup efektif digunakan, sambil menanti kecanggihan teknologi komunikasi merambah seluruh wilayah Aru.
Hal lain yang mencengangkan, menurut Temmy, sumber daya di Laut Arafuru. Dia menggambarkan Arafuru sebagai salah satu lumbung ikan di dunia. Sudah puluhan tahun Arafuru dieksploitasi oleh nelayan dari berbagai negara. Ada yang menangkap ikan secara legal, namun tidak sedikit yang melakukan pencurian.
 
“Nelayan dari negara lain nekat datang jauh-jauh ke Arafuru. Mereka tahu, perairan di sini kaya dengan ikan. Mereka nekat masuk penjara bahkan ada yang mati, hanya untuk mengeruk kekayaan Arafuru. Hasil tangkapan itu dibawa ke negaranya dan membawa kemakmuran bagi nelayan asing. Sedangkan orang Aru sebagai pemilik sumberdaya, tetap saja menjadi penonton yang miskin,” urainya.
Temmy juga mengaku prihatin dengan kondisi pendidikan di Aru. Bangunan-bangunan sekolah berada dalam kondisi darurat. Namun hal yang lebih gawat adalah situasi guru. Tidak sedikit guru yang ditugaskan mengajar di kampung, tidak bisa bertahan di kampung. Masalahnya, bukan mereka tidak rela mengajar di sana, melainkan rumah guru tidak tersedia.
 
“Guru-guru itu mau saja mengajar di kampung. Hanya saja, rumah guru tidak tersedia. Mereka tidak mungkin menumpang tinggal di rumah rakyat yang sangat sederhana, karena akan memberatkan warga,” terangnya.
 
Temmy menyatakan, pemerintah dan warga Aru masih harus bekerja keras mewujudkan cita-cita kemakmuran. Untuk sampai di sana, dirinya berharap, warga Aru tidak terkokak-kotak dalam kepentingan sempit dan isu-isu yang tidak produktif.
Salah satu persoalan yang kini mengguncang Aru adalah penetapan Bupati Tengko sebagai tersangka dalam dugaan korupsi. Dirinya berharap, warga mempercayakan proses hukum kepada aparat yang berwenang, dan tidak membangun sikap pro-kontra dalam proses ini. Alasannya, jika pro-kontra dibiarkan meluas, hal ini akan memecah keutuhan orang Aru, dan juga menguras banyak energi.
 
“Jadi biar saja proses hukum berlangsung dengan azas praduga tidak bersalah. Proses-proses penyelanggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat tetap berlangsung sebagaimana mestinya,” kata Temmy.
Aru juga akan menghadapi proses pilkada. Berbagai kekuatan politik kini sedang pasang kuda-kuda untuk memuluskan jalan bagi calon kepala daerah yang diusung. Ada beragam aspirasi yang mulai muncul. Misalnya, ada pikiran bahwa bupati mendatang harus dari anak Aru asli.
 
Menurut Temmy, orang Aru jangan dibawa ke arah dikotomi asli dan bukan asli. Sebab Aru sejak lama sudah menjadi ruang yang ramah bagi beragam etnik. Hampir semua suku di Indonesia maupun keturunan Arab dan Tionghoa hidup di Aru dalam suasana rukun dan damai.
 
Jadi untuk suksesi mendatang, dirinya berharap, isu yang dikedepankan adalah kemakmuran rakyat. Dirinya mendukung calon kepala daerah yang memiliki visi dan misi cemerlang dengan program-program yang mampu membawa orang Aru keluar dari kemiskinan, ketertinggalan dan keterbelakangan.
 
“Aru punya banyak sumberdaya untuk menjadi kepala daerah. Ada yang berdomesili di Aru, Ambon, Papua, Tanah Jawa dan sebagainya. Saya yakin, orang Aru sudah punya bayangan, siapa yang akan diberi kepercayaan untuk memimpin Aru lima tahun mendatang,” katanya.
Temmy yakin, dengan kerja keras yang sungguh-sungguh dari seluruh komponen di Aru, wilayah itu akan mampu beranjak dari ketertinggalan. Hasil bumi yang melimpah dari alam nan indah, dipercaya akan menjadi berkah bagi kehidupan warga. Jika tidak, Aru akan tetap terpuruk dan menyedihkan. Sebab, di atas kekayaan itu hiduplah orang-orang Aru yang miskin.
 
“Kita akan malu sebagai orang Aru jika tidak bisa mengelola kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat,” pungkasnya.
Harapan Temmy tidaklah berlebihan. Masa depan Aru memang penuh harapan. Tapi, kejayaan masa mendatang harus direbut. Kalau tidak berjuang, Aru akan tinggal sebagai ironi. Ia sangat kaya dengan butir-butir mutiara, tapi warganya tetap makan butir-butir beras miskin. (*)
diunduh dari;